KONTEMPLASI DI TANAH PARA NABI, CATATAN HARIANKU DI MAKKAH 1999

Miqot, segalanya berawal dari satu titik

Ibadah ini kumulai dengan niat atau suatu kesadaran untuk memenuhi panggilanNya, semua itu diawali di-miqot. Saat ini, aku mengganti baju yang biasa kupakai dalam keseharian dengan pakaian ihrom sebuah pakaian putih yang sederhana , tidak berjahit yang mengingatkanku akan kaffan, pakaian yang akan kugunakan saat berpulang. Mengganti pakaian dengan pakaian ihrom ini, artinya kita harus melepaskan dan meninggalkan segala topeng-topeng kepalsuan, busana kemunafikan, dan berbagai kemewahan hidup dan menggantinya dengan busana kejujuran, keimanan dan kerendahan hati.dalam menghadap Ilahi

Mengenakan ihrom pada haji sama dengan mengucapkan takbiratul ihram dalam sholat, ia adalah awal dalam ibadah.Segala sesuatu itu ada awalnya, dan awal dari Ibadah haji yang Indah dan Agung ternyata hanya sebuah ritual sederhana, mengganti baju.Lebh aneh lagi, baju yang kupakai pun ternyata sangat sederhana, putih takberpola, bahkan tanpa pernak-pernih.Ini menyadarkan aku bahwa segala hal-hal yang besar berawal dari sesuatu yang kadang kala remeh, sederhana dan seolah tak berarti.

Berbagai pengajian besar, selalu berawal dari pengajian kecil dan kadangkala dari sebuah rumah kecil, seperti Rasulullah mengawali penyebaran Islamnya dari rumahnya yang kecil, dari keluarganya , Khadijah dan Ali. Darisana, barulah kemudian cahaya Islam menyebar ke lingkungan kerabat, dan saat ini Islam telah menyebar ke suluruh penjuru dunia dan telah melahirkan budaya yang beraneka ragam dan orang-orang hebat dalam berbagai bidang.Demikian pula dengan Republik ini, Negara besar ini pun pada masa lalu hanya sekedar hayalan dan harapan segelintir orang, pergerakan kemerdekaan dimulai dari obrolan-obrolan di sebuah rumah kecil milik H.Umar Said Cokroaminoto, dan dari rumah itulah lahir tokoh-tokoh yang kelak akan memerdekakan bangsa ini antara lain Sukarno, H.Agus Salim dan para tokoh lainnya.Semua hal besar memang selalu berawal dari hal keci yang sederhana.Ini pun yang akhirnya membuat aku tidak akan malu lagi untuk melakukan hal-hal remeh dan sederhana, karena suatu hari hal-hal kecil yang kulakukan akan menjadi sesuatu yang besar.

Kini acara Haji telah dimulai, dengan pakaian ihrommu bersegeralah aku menuju Allah, kuucap,” labbaik Allohumma labbaik, labbaika laa syariikalaka labbaik, Innal Hamda wa ni`mata laka wal mulk, Laa syariikalaka.”
Artinya “ Hamba datang memenuhi seruanMu Ya allah, Hamba datang padaMu dengan tidak mempersekututkan apapun disamping Engkau. Hamba datang dengan setiap pujian dan segala nikmat, BagiMu seluruh Kerajaan, Tiada sekutu bagiMu.”

Ucapan “Labaik Allahohumma labaik “ berarti pula meluruskan niatku hanya untuk Allah semata , kedatanganku ke sini bukan karena ingin sesuatu selainnya , pangkat, harta, kehormatan, dan hal-hal rendah lainnya, tetapi karena sesuatu yang Agung, Sumber segala sumber yang dariNya aku berasal dan kepadaNya pua aku kembali, yang selalu memberi makan tatkala aku lapar, Dia yang selalu menghibur tatkala aku sedih, Dia yang menjadikan aku lahr di bumi ini, tumbuh, dan berkembang,Dia yang selalu memelihara aku tanpa pernah meninggalkan aku, Dialah Sang Asal , dan saat ini aku sedang menuju ke arahNya , Dialah Asal muasalku, saat ini aku sedang kembali ke “rumah’ asalku

“Labaik Allahohumma labaik “, Aku datang mengahadapMu Ilahi dengan membawa dosa dosa yang kian menggunung, Aku datang ke “rumah”Mu tanpa membawa amal-amal yang dapat kubanggakan dihadapanMu , RasulMu, dan orang-orang yang beriman.
Aku datang hanya membawa harapan agar Engkau menerimaku.

Aku jadi teringat pada riwayat-riwayat tentang berhajinya Ahlul Bait, keluarga Rasulullah, disebutkan bahwa mereka mengalami pergolakan dalam diri , tubuh mereka bergetar , dan wajah mereka pucat, , suara mereka parau serasa tak mampu mengucapkannya!Bahkan dalam beberapa kesempatan, mereka hamper jatuh pingsan.Ketika ditanya mengapa mereka tidak mengucapkan talbiyah dengan suara lantang, meraka menjawab bahwa mereka tAllah akan menjawab Laa labbaika wa laa sa`daika (Tidak, engkau tidak Kuterima, dan engkau tidak Kusambut).

Ya Ilahi………… itu adalah mereka, lalu bagaimana dengan aku, bila mereka Keluarga Nabi yang seluruh kaum Muslimin membacakan shawat dalam sholat mereka saja , takut bahwa Engkau tidak menyambut mereka, lalu bagaimana dengan aku saat ini yang membawa setumpuk kesalahan dan pembangkangan , tanpa ada amal yang dapat kubanggakan di hadapanMu.

Bila Ahlul bait Nabi yang selalu menghias drinya dengan amal sholeh, jihad, da`wah dan menempuh berbagai cobaan hidup dengan kesabaran saja takut ditolak saat mendekati “rumah”Mu,
Lalu bagamana hanya dengan diriku yang selalu mengotori jiwanya dengan maksiat, yang sering lupa mensyukuri ni`mat-ni`matMu, yang sering bermalas-malasan untuk berbuat kebajikan, bagaimana mungkin hamba kau terima Yaa Ilahi……
Kini hamba datang menghadapMu hanya membawa se”langit” harapan , agar engkau menerimaku
Ya Ilahi wa Rabbi aku datang kepadaMu.
Maka terimalah aku, karena aku tahu bahwa besarnya dosa-dosaku yang sebesar gunung sekalipun, tidak berbanding dengan luasnya ampunan dan kasihMu yang tak bertepi
Maka ampunilah aku, dan terimalah aku ya Robbii
Sambutlah hamba dengan kehangatan cintaMu dan kelembutan kasihMu

Aku pun memulai tahapan berikutnya dengan sebuah langkah kecil kakiku yang merupakan perlambang langkahku mennggalkan kekelaman masa lalu, aku sat ini bergerak ke arahMu ,dari kesempitanku pada keluasanMu, dari dendam-dendamku pada makhlukMu dan masa laluku menuju maaf dan cintakasihMu, dari kekerdilan jiwa pada keagungan pesonaMu, aku datang ya rabbi………… aku datang Ya mawlay………. Aku datang Ya Ilahi……….

Kini aku bergerak menuju masjidil haram yang di dalamnya terdapat Ka`bah “rumah” Ilahi bagi manusia , ibarat musafir yang kepanasan yang berlari merindukan sebuah rumah yang teduh, teduhi aku ya Ilahi…. Hamba datang ke rumahMu…..

Hamba adalah sebuah debu putih diantara jutaan debu-debu putih lainnya yang bergerak menuju Ka`bahMu, Semakin lama semakin dekat, semakin dada ini berdegup kencang, Kebesaran Ilahi semakin aku rasakan di hati, di aliran darah dan di seluruh sel-sel tubuhku, di dalam fikiran, di seluruh indera, disetiap batu-batu dan butiran-butiran pasir tanah haram,
Yang aku lihat hanyalah kebesaran Mu ,” labbaik Allohumma labbaik, labbaika laa syariikalaka labbaik, Innal Hamda wa ni`mata laka wal mulk, Laa syariikalaka.” ,“ Hamba datang memenuhi seruanMu Ya allah, Hamba datang padaMu dengan tidak mempersekututkan apapun disamping Engkau. Hamba datang dengan setiap pujian dan segala nikmat, BagiMu seluruh Kerajaan, Tiada sekutu bagiMu.”

Luluh Sirna dipangkuan Ka`bah

“Begitu sampai ditanah haram, seruan labbaik pun terhenti, digantikan oleh keheningan yang menandakan bahwa kita telah tiba di sana . Di rumah Ilahi, pusat ajaran cinta dan keteduhanNya……….. maka teduhilah kami Yaa Ilaahiii “ Dr.Ali Syariati

Saat ini aku ada di hadapan ka`bah , Ka’bah adalah sebuah bangunan kubus yang kosong tersusun dari batu batu dengan perekat kapur putih yang sangat sederhana. Saat menyaksikannya aku termangu. Betapa tidak, ka’bah ternyata bukanlah seperti yang kita bayangkan, istana megah, yang memiliki keindahan seni dan arsitektur, tetapi hanya sebuah ruang persegi yang kosong,sebuah bangunan yang sederhana, itukah semuanya?

Itukah pusat agama, Shalat, Doa, cinta, hidup dan mati kita?...Sebuah bangunan kosong yang sederhana?...Ya, Demikianlah untuk menjadikan hati kita sebagai rumah Tuhan, kita harus mengosongkan hati, dari berbagai nafsu keserakahan , ketamakan, iri, dengki, dan mengosongkan fikiran dari berbagai masalah, dengan manusia lain atau diri kita. Barulah hati ini layak sebagai rumah Tuhan. Kekosongan dalam Ka’bah mengingatkan kita bahwa haji hanya dapat dicapai dengan keikhlasan hati, bukan dengan tujuan-tujuan, pamer, pamrih atau penghargaan dari orang lain, maka kosongkanlah hatimu dari kotoran hati, wahai haji!

Warna hitam pada kain Ka`bah dan hajar aswad memberikan makna bagiku bahwa aku harus meleburkan egoku ke dalam Rahman-rahim Tuhan , sebagaimana yang kutahu bahwa hitam adalah warna dasar yang bisa menghilangkan seluruh warna, warna apa pun bia dicampurkan dengan hitam hasilnya akan hitam.
SEbagaimana Alqur`an alKarim mengatakan ,” Sibghoh (celupan) Allah, celupan manakah yang lebih baik dari celupan Allah.” Maka celupkanlah aku dalam samudra kasihMu, samudra ma`rifat sehingga lebur dan sirna warna-warna ego dan berbagai sifat burukku , lebur daam Warna Cinta dan kasihMu, ……
Warna hitam yang meleburkan berbagai warna mengajarkan pula bahwa segala perbedaan harusah lebur dalam kalimat yang satu
Perbedaan faham antara aku dengan saudara-saudara muslimin lainnya haruslah sanggup kuhilangan digantikan dengan cinta dan persaudaraan

Disamping itu ka’bah pun mengambarkan keagungan dan ke universal an rumah Tuhan yang sederhana tanpa warna dan pernak-pernik, dan tidak berpola, melambangkan bahwa Tuhan tidak tergambarkan oleh visualisasi pola dan warna. Sebagai mana yang dilambangkan oleh ka’bah yang menghadap kesegala arah begitu pula Tuhan sang Pemilik Ka`bah, utara, selatan, barat, timur, atas dan bawah adalah milikNya.

Kesederhanaan arsitektur ka`bah mengajarkan pula pada kita bahwa rumah Tuhan itu sangat sederhana,karena itulah tidak membutuhkan berbagai kemewahan untuk mnghadapNya, datanglah padaNya dengan apa adanya

Kontemplasi di Hijir Ismail


Aku lihat disebelah barat kabah ada sebuah tembok rendah setengah lingkaran menghadap ke Ka’bah bangunan ini di sebut Hijir Ismail / Hajar Ismail. Konon, di tempat inilah Ismail menyerahkan lehernya kepada ayahnya untuk dikorbankan. Dan ditempat ini pulalah diriwayatkan bahwa Siti Hajar , Ibu Ismail di kuburkan. Bangunan ka’bah memanjang kearah hijir ismail ini. Dengan kata lain Tuhan menempatkan rumahnya disebelah tempat Ismail akan dikorbankan, sekaligus juga makam Siti hajar, seorang wanita lemah, budak yang berkulit hitam. Hal ini mengajari kita sesuatu, bahwa Tuhan yang Agung memilih seorang yang hina dan lemah diantara makhhlukmakluknya, dia berikan tempat disisinya. Sebuah tempat di samping rumahnya., maka untuk mendekati Allah hingga berada disisi Allah , kita harus rela berkorban sebagaimana Ismail yang merelakan dirinya untuk di sembelih, pengorbanan adalah suatu cara menunjukan cinta.Kesiapan untuk berkorban , mempersembahkan segala yang terbaik dalam hidup kita adalah suatu indicator adanya cinta dalam diri kita.Qurban sebagaimana pengertiannya yang berasal dari kata Quraba yang artinya dekat, adalah suatu cara untuk mendekat kepada Yang Mahakasih.

Berperan sebagaiHajar


Selanjutnya kita harus pula berperan sebagaimana Hajar, teladanilah Hajar hingga kedekatan kita padaNya seperti kedekatan Hajar pada TuhanNya.Sesungguhnya ritual-ritual haji ini, menapak tilasi jejak-jejak keimanan Hajar , bahkan perkataan hijrah pun berasal dari kata Hajar, Hijrah sendiri adalah perbuatan yang pernah dilakukan oleh Siti Hajar.Maka berlakulah sebagaimana hajar wahai haji, tinggalkankah ego dan kesombonganmu pada kerendahan hati dan penyerah diria pada Ilahi.Tinggalkanlah pembangkanganmu menuju ketaatan pada Ilahi, tinggalkanlah urusan-urusan pribadimu menuju urusan-urusan Tuhan dan kemanusiaan, tinggalkanlah masa lalumu menuju masa depan yang lebih cerah dan gemiang.

Thowaf mengelilingi Ka`bah, menjadi satu dengan Ummat manusia

Selanjutnya, aku menyaksikan Ka`bah yang dikelilingi jutaan manusia, Ia bagaikan matahari yang merupakan pusat tata surya, dan manusia-manusia yang mengelilinginya ibarat bintang-bintang yang beredar pada orbitnya.Subhanallah, segala yang dilangit dan di bumi taat pada Tuhan dengan cara mereka masing-masing, electron-elektron sebagai sub terkecil taat pada TuhanNya dengan mengelilingi inti atom, planet-planet taat pada Tuhannya dengan mengelilingi matahari.Maka, saat thawaf, aku menyadari bahwa diriku adalah bagian dari semestaNya yang sudah selayaknya selalu taat pada Sang Pencipta tanpa henti.Saat thowaf, semuanya berputar mengelilingi Ka`bah, ini adalah symbol bahwa “aku” harus bersatu menjadi “kita”, urusanku adalah urusan kaum Muslimin dan ummat manusia, urusan kaum muslimin dan ummat manusia adalah urusanku juga, aku adalah bagian tak terpisahkan dari ummat.
Saat thawaf aku menceburkan diri ke lautan manusia , hilang ditengah orang-orang ramai , terbenam, menghilang dan terus hanyut dalam gelora lautan manusia yang bergerak mengelilinginya.Mereka semua mengenakan pola dan warna yang sama, tidak ada perbedaan yang ada hanya totalitas universalitas ummat.

Selanjutnya terngiang dalam batinku sebuah seruan,”Maka jika perhatianmu masih terttuju pada dirimu sendiri wahai yang menginginkan predikat haji dan yang mengaku dirinya haji , engkau tidak layak dengan predikat hajimu.”

Seorang Haji yang telah melakukan thowaf adalah seorang yang telah membuang sifat mementingkan diri , yaitu seorang yang menceburkan diri dalam lautan manusia, menjadi bagian dari urusan kemanusiaan.Dengan kata lain, untuk dapat menjadi haji yang sejati, aku harus meninggalkan egoku , berbuat bagi orang lain.Tunaikanlah haji, ceburilah lautan manusia,berenang-renanglah di lautan cinta, maka tinggalkanlah dirimu menuju eksistensi abadi ummat manusia pada orbit Ilahi, melebur dalam kasih Ilahi

Berdiri di maqam Ibrahim, menggantikan posisi Ibrahim


Selanjutnya dari tempat engkau memulainya, disitu pulalah engkau keluar dari lingkaran thawaf, sama halnya dengan kebangkitan kembali, ditempat kau terkubur ditempat itu pulalah kau akan dibangkitkan.
Selesai ritual thowaf, aku akan berdiri di depan maqam Ibrahim untuk sholat, di tempat saat Ibrahim as yang telah melalui masa-masa perjuangan dan pengabdian yang berat dalam hidupnya, melawan penindasan namrudz, mengkritik penyembahan berhala yang dilakukan kaumnya, menanggung berbagai siksaan hingga hukuman bakar, hijrah, kesepian, terlunta-lunta , hingga mengorbankan putera Ibrahim, dari stase kenabian hingga imamah akhirnya berdirilah Ibrahim di sini untuk mendirikan rumah Allah bagi ummat manusia.

Kembali bathinku berseru,“Di tempat kita sholat inilah, Ibrahim yang telah melampau tahun-tahun perjuangan dan pengabdiannya setelah rambut di kepalanya memutih, beliau berdiri untuk membangun Ka`bah sebuah monument keteduhan cinta Ilahi bagi ummat manusia.Kini kita berdiri di sini , di atas tempat di mana Ibrahim dulu pernah berdiri.Wahai haji, seolah-olah engkau berjabat tangan dengan Ibrahim untuk melanjutkan estafeta perjuangan ibrahim.ya, engkau kini telah menggantikan posisi Ibrahim , berdiri dimana Ibrahim dulu pernah berdiri , membangun rumah cinta bagi ummat manusia.karena itu. Wahai haji, jadilah Ibrahim pada zamanmu, selamatkan bangsamu dari kerusakan sebagaimana yang dilakukan Ibrahim dulu, bukannya malah menjadi bagian dari perusakan itu sendiri, lepasanlah rakyatmu dari kemandegan , bantulah mereka untuk bergerak kea rah yang lebih baik.
Sebagai Ibrahim pada zamanmu , engkau tidak boleh lagi takut pada apa pun, takut gagal, takut dirolak saat menyampaikan syiar, atau takut menghadapai berbagai kesulitan dan permasalahan yang kauhadapi, sebagaimana Ibrahim yang tidak takut berhadapan dengan Namrudz.
Dan sebagaimana yang dilakukan Ibrahim dulu untuk menyeru manusia ke Baitullah, kini engkau pun harus mengajak manusia untuk berhaji.Karena Allah, ajaklah manusia untuk berhaji.”


Sa`i antara Shafa dan Marwah, kembali berperan sebagai Hajar

Usai sudah sholat di maqam Ibrahim, kini engkau melakukan ritual Sa`I, berlari kecil antara shofa dan marwah menapak tilasi apa yang pernah Siti Hajar lakukan.Saat ini kita berperan sebagai Siti Hajar, sang guru besar teladan kepasrahan, kesabaran, ketaatan tanpa mengeluh, perjuangan dan cinta suci.Pada masa lalu, Siti Hajar bersama bayinya Ismail yang masih memerah ditinggalkan Ibrahim kepala rumah tangga mereka di tempat ini, saat tempat tersebut masih tandus kerontang, belum ada peradaban hanyya padang gersang tak berpenghuni. Saat Ibrahim sang suami meninggalkannya, bertanyalah Siti Hajar,” Wahai suamiku, mengapa engkau tinggalkan kami.” Ibrahim terdiam , menangis tanpa sanggup berkata apa-apa, kecuali menunduk sambil bergegas meninggalkan isteri dan buah hatinya tersebut.Untuk keduakalinya Hajar bertanya lagi,” Wahai suamiku mengapa engkau tinggalkan kami.” Lagi-lagi Ibrahim tidak menjawab kecuali menunduk haru sambil bergegas pergi.Dengan kesabarannya, Hajar bertanya lantang pada suaminya Ibrahim yang kian jauh dari pandangan,”Wahai suamiku, apakah ini perintah Allah?” .Suaminya mengangguk sambil menjauhdari pandangan, meninggalkan Siti hajar bersama Ismail kecil di tengah padang gersang menyendiri.

Sang bayi Ismail pun menangis keras , Hajar berusaha menyusuinya, namun malang air susunya tak keluar setetes pun.Saat tangis sang bayi kian keras, hajar bangkit , tanpa mengeluh ia berusaha bergerak berlarian ke sana kemari mencari seteguk air bagi anaknya.Hal ini mengingatkan kita pada perjuangan ibu kita, dan ayah kita yang telah membesar kita dengan susah payah, karena keringat merekalah kita tumbuh seperti ini.Kita kembali ke kisah tadi, akhirnya sampailah Siti Hajar di bukit Shofa yang dari jauh terlihat seperti ada air ternyata kering tak ada air setetes pun.Di Shafa ini Siti Hajar berdiri dan melihat air di Marwah bukit batu yang satunya, dengan semangat bergegaslah hajar ke Marwah untuk mendapatkan air bagi anaknya, dan lagi-lagi hanya bukit batu keringlah yang ia dapat, tak ada air setetes pun.Di Marwah kembali ia berdiri dan terlihat ada air di bukit Shofa, kembali ia berlari ke bukit Shofa dan lagi-lagi hanya batuan kering yang ia dapatkan, tak ada setetes air pun yang didapat, begitulah hingga tujuh balikan ia berlarian dari shofa kemarwah, dan dari marwah ke shofa yang panas dan tandus.

Saat harapan seolah tada lagi, rasa letih dan haus telah sampai pada puncaknya, tiba-tiba saat memohon ampunan dan rahmat dari Tuhannya, Hajar merasakan basah pada telapak kakinya, diangkatlah kedua kakinya dari tempat tersebut yang bergemuruh, Maha besar Tuhan, air memancar dari tempat ia berdiri, serta merta ia membuat kubangan air dengan kedua tangannya sambil berkata “zam………zam… Zam.” Atau “berkumpulah , berkumpulah…” .Ya, itulah awal mula munculnya mata air zam-zam, mata air cinta yang tidak pernah mengering.

Wahai Haji, dalam ritual sa`I ini, tidakkah engkau rasakan beratnya perjuangan Hajar yang mencari air bagi puteranya.Lewat sa`I Haajar mengajari kita cinta tanpa pamrih, kesabaran yang pantang menyerah, berjuang tanpa mengeluh untuk memenuhi perintah Ilahi.Wahai haji, sebagaimana Hajar sang wanita lemah itu, bergeraklah engkau mengitari shofa marwahmu, jalanilah ketaatan pada Ilahi ini tanpa mengeluh, hadapilah berbagai shafa marwah hingga tercapai zam-zammu.bangunlah kembali dari kegagalanmu, dan hadapilah berbagai kegagalan lainnya hingga tercapai kesuksesan hidupmu, sebagaimana Hajar yang telah melewati shofa marwahnya dan mencapai zam-zamnya.Hajar, shofa , marwah dan zam-zamnya telah mengajarkan pada kita untuk selalu yakin bahwa pada akhirnya setelah melewati berbagai kesulitan keberhasilan yang merupakan wujud konkret dari janji Tuhan pasti akan hadir tidak pernah terlambat dan bahwa cinta sejati dan harapan selalu membuahkan berbagai keindahan dan keajaiban.Sa`I mengajari kita untuk sabar dan ikhlas dalam menjalani taqdir dan kewajiban Ilahi tanpa mengeluh, bangkit dari kegagalan dan meewati berbagai kegagalan demi kegagalan dengan selalu bepengharapan akan pertolongan Tuhan.

Kembali benakku begumam,” Wahai haji, arungilah dan hadapilah shofa marwah ( kegagalan)mu, maka engkau akan mendapatkan zam-zam (keberhasilan)mu.”

Kembali saya disadarkan, bahwa Negeri Makkah yang subur ini dulunya adalah tempat tandus gersang tak berpenghuni, kesabaran, ketaatan, cinta, dan keikhlasan Hajar telah merubah tempat tandus ini menjadi tempat yang makmur, maka aku pun harus merubah ketandusan hatiku , kegersangan jiwaku, dengan mujahadah sebagaimana Hajar.
Ha ini sebagaimana yang diungkapkan Dr.Ali Syariati dalam bukunya yang berjudul Hajji :
“Wahai manusia yang memiliki cinta ………..
Hendaklah engkau bepengharapan…..
Percayalah bahwa cinta dan harapan akan membuat keajaiban…
Dan engkau wahai Haji
Yang telah melakukan sa`i……….
Dari “padang pasir” perasaanmu yang gersang……..
Dan dari lubuk hatimu yang dilupakan…….
Dengarkanlah gemuruh air itu……….
Dengarkanlah hatimu…….
Gemuruh air cinta akan terdengar olehmu.”
Dr.Ali Shariati

Wuquf di Arafah


Selanjutnya, sampailah aku di padang Arafah ,untuk melakukan wuquf.Wuquf artinya berdiam diri, berasal dari kata waqofa yang berarti berhenti atau berdiam,dalam ritual wuquf di padang arafah ini kita diajarkan akan pentingnya “STOP and THINK” berdiam sejenak untuk merenungi apa yang telah kita lalui.

Dalam luasnya langit membentang dan kerumunan bintang-bintang di malam harinya , kembali aku tertegun takjub akan indahnya langit dan semesta, dan doa pun kulantunkan
, dengan cara inilah aku berharap kearifan dan ma`rifat sebagaimana kata Arafah itu sendiri yang bermakna kebijaksanaan.
Dari bibirku yang penuh dengan noda hitam ini, kulantunkan bait-bait doa Arrafah yang pernah dipanjatkan oleh keluarga rasulullah:
Alhamdulillah Segala puji bagi Allah yang tiada seorangpun dapat menolak ketentuan-Nya, mencegah pemberian-Nya, dan tak ada seorangpun dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya.
Dengan keindahan ciptaan-Mu, dengan kesempurnaan nikmat-Mu Kau bentuk daku dari mani sebelah kanan Kau tempatkan aku dalam tiga kegelapan diantara daging, darahdan kulit.tak Kau persaksikan padaku penciptaan diriku, belum Kau jadikan sedikitpun urusanku akan hal itu, kemudian Kau keluarkan aku kedunia dalam kesempurnaan ditengah mereka yang Kau tunjuki.
Terkenang aku saat beliau AlHusein cucu rasulullah bermunajat ,’
Kau jaga daku waktu kecil dalam belaian, Kau anugerahi daku susu berlimpah, Kau lembutkan kalbu para pengasuh kepadaku, kau wajibkan ibu-ibu pengasih membimbingku, Kau lindungi daku dari bisikan Jin, Kau selamatkan daku.
Dalam lanjutan doanya, Imam Husain mengisyaratkan keharusannya bersyukur atas nikmat tiada tara ini, dan ia mengakui bahwa dirinya juga belum mampu untuk mengungkapkan rasa syukur ini.
“Dengan rububiyah-Mu, kuakui bahwa Engkau adalah tuhanku,kepada-Mu pengembalianku, Engkau ciptakan aku dengan limpahan nikmat-Mu, sedang aku ketika itu belum berupa apapun yang dapat disebut.
Doa Arafah Sayidus Syuhada ini penuh akan makna-makna kecintaan dan keirfanan, serta kema'rifatannya kepada dzat suci-Nya. Dalam keasyikannya bercengkerama dengan Tuhannya ia bertutur lirih yang perkataannya kini kulantunkan pula di bibirku:
Tuhanku, ijinkanlah aku untuk bersimpuh di hadapan-Mu, aku yang hina-dina, tidak memiliki pembebasan untuk untuk mengelak, dan aku tidak dapat mengatakan bahwa aku tidak berbuat dosa ini dan tidak berbuat kejelekan! Oh! Seandainya pengingkaran—seandainya aku mengingkari wahai Tuanku—dapat beramanfaat bagiku!

Akulah wahai Tuhanku yang mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah aku, akulah yang berbuat kejelekan, akulah yang bersalah, akulah yang menginginkan (maksiat), akulah yang bodoh, akulah yang lalai, akulah yang lupa, akulah yang bersandar (pada-Mu), akulah yang sengaja (berbuat dosa), akulah yang berjanji dan akulah yang mengingkari, akulah yang merusak, akulah yang menetapkan, akulah yang mengakui akan nikmat-Mu atasku, namun aku menghadap-Mu dengan dosa-dosaku. Maka, ampunilah aku. Wahai Dzat yang tidak dirugikan oleh dosa-dosa para hamba-Nya. Ia-lah yang Maha Kaya (dan tidak memerlukan) terhadap ketaatan mereka dan memberikan taufik kepada orang yang beramal salih dari mereka dengan pertolongan dan rahmat-Nya. Maka, bagi-Mu segala puji wahai Tuhanku."

Mina, medan pertempuran abadi

Selanjutnya sampailah aku di Mina, yang artinya “kembali”
Betapa indahnya nama tersebut
Kembali ke diri sendiri, melihat diri sendiri…..
Ya, selama ini aku selalu berfokus pada sesuatu diluar diriku, mencari-cari kesalahan orang lain, menghukumi orang lain,
astaghfirulah alAdzhiem
Disini kembali aku mereview ulang segala yang telah kulalui dalam hidupku dan berusaha memahami pesan-pesan yang terkandung dalam setiap ritual haji
Disini aku kembali pada jati diriku yang sebenarnya, menemukan kembali nuraniku yang selama ini telah hilang

Tanpa terasa air mata pun bercucuran sambil terucap kata dari lisanku,” Ilahi, dari Mu lah aku berasal, dan hanya padaMulah aku kembali
Aku merasakan kesejukan yang luar biasa
Suatu rasa kedamaian yang teramat indah untuk digambarkan
Rasa Cinta dan kerinduan yang begitu dalam
Di alam damai yang penuh cinta ,
itulah rumahku yang sejati
Ya Ilahi terimalah aku kembali

Akhirnya sampailah aku di tempat berperang,
Kusiapkan tiga buah batu untuk ritual jumroh uqba,
Kulempar tiga buah batu ini dengan penuh semangat, sebagai lambang pernyataan perangku pada para pezalim, pezalim eksternal dan pezalim internal
Dengan melempar batu-batu ini ,
Kunyatakan penolakanku terhadap segala bentuk jibti wa thogut, penindasan, kesewenang-wenangan, ketidak adilan, kerusakan dan berbagai bentuk prilaku menyimpang yang saat ini menjangkiti masyarakatku,
Dan Dengan melempar batu-batu ini
kunyatakan pula peperanganku terhadap segala bentuk nafsu yang bersemayam dalam diriku dan segala bentuk berhala baik itu keyakinan atau isme yang bersumber dari egoku atau berbagai prasangka-prasangka burukku, fikiran-fikiran liarku maka bantulah aku menghancurkan ini semua ya Ilahi wa Robbi ,

Selesailah sudah jumroh al uqba, kini kulakukan ritual mencukur rambutku, tahalul atau halq wa taqsir
Membuang semua sisa-sisa kesombongan dan berbagai penyakit hatiku,
Kusadari bahwa setelah ini rambut akan tumbuh kembali ,
Demikian pula penyakit-penyakit hatiku , ia akan bermunculan kembali
Dan setiap ia muncul seharusnya aku segera menyadari dan membuangnya kembali
Aku harus selalu bersih , sadar, dan waspada

Kembali thawaf, kembali ke realitas (alam nyata)

Dari Mina, aku kembali ke Ka`bah,
Thawaf di kerumunan jutaan manusia,
Sebagamana Musa dari Thursina kembali ke masyarakatnya, bergerak melakukan syiar
Sebagaimana Muhammad saw dari langit ketujuh kembali ke bumi,
Aku pun tidak boleh sibuk dalam ke”diri’anku, Islam melarangku untuk menjauh dari masyarakat, aku harus menjadi bagan dari ummat manusia , bergerak bersama ummat manusia lainnya melakukan perubahan kea rah kebaikan,
Thawaf berarti pula gerakan tanpa henti,
Perjuangan tanpa kenal lelah

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel